Jalan Malioboro
·
Dari Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk Film dengan judul Malioboro, lihat Malioboro (film).
https://id.wikipedia.org/wiki/Jalan_Malioboro
Untuk nama kereta api yang dioperasikan oleh PT Kereta Api
Indonesia dan Daerah Operasi
VI Yogyakarta, lihat kereta api
Malioboro Ekspres.
Jalan Malioboro |
|
Jalan Malioboro,
dengan kompleks pertokoan batik dan kerajinan |
|
Nama lokal |
ꦢꦭꦤ꧀ꦩꦭꦶꦪꦧꦫ (Jawa) |
Bagian dari |
Sumbu Filosofis Yogyakarta |
Tipe |
Jalan protokol |
Panjang |
2 km (1 mi) |
Lebar |
25 m (82 ft) |
Lokasi |
Kota Yogyakarta, Indonesia |
Koordinat |
|
Utara |
Jalan Margo Utomo |
Selatan |
Jalan Margo Mulyo |
Jalan
Malioboro (bahasa Jawa: ꦢꦭꦤ꧀ꦩꦭꦶꦪꦧꦫ, translit. Dalan
Maliabara) adalah nama salah satu kawasan
jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang membentang
dari Tugu Yogyakarta hingga
ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta.
Secara keseluruhan terdiri atas Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan
Margo Mulyo. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta.
Kereta api
Malioboro sumber inspirasi dari
nama Jalan Malioboro untuk mengangkut penumpang dari Yogyakarta tujuan Malang.
Jalan
ini menghubungkan Tugu Yogyakarta hingga menjelang kompleks Keraton
Yogyakarta. Jalan ini berakhir di Pasar Beringharjo (di sisi timur). Dari
titik ini nama jalan berubah menjadi Jalan Achmad Yani. Di sini terdapat bekas
kediaman gubernur Hindia-Belanda di
sisi barat dan Benteng Vredeburg di
sisi timur.
Pada
tanggal 20 Desember 2013 oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono X nama dua ruas jalan Malioboro dikembalikan ke
nama aslinya, Jalan Pangeran Mangkubumi menjadi
jalan Margo Utomo, dan Jalan Jenderal Achmad Yani menjadi jalan Margo
Mulyo.[1]
Terdapat
beberapa objek bersejarah di kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun
Tugu, Gedung Agung, Pasar
Beringharjo, Benteng
Vredeburg, dan Monumen Serangan Umum
1 Maret.
Jalan
Malioboro terkenal dengan para pedagang kaki lima yang
menjajakan kerajinan khas Jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual
kuliner Jogja seperti gudeg. Jalan ini juga
terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekspresikan
kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, happening
art, pantomim,
dan lain-lain.
Saat
ini Jalan Malioboro tampak lebih lebar karena tempat parkir yang ada di pinggir
jalan sudah dipindahkan ke kawasan parkir Abu Bakar Ali dan menjadikan Jalan
Malioboro sebagai Jalan Semi Pedestrian.
Penamaan[sunting | sunting sumber]
Internasional ke-28 di Canberra, Australia. Maka dari itu,
penggunaan nama "Maliabara" yang berasal dari bahasa Sanskerta untuk
menamai jalan yang dibangun Hamengkubuwana I, sultan pertama Kesultananan
Yogyakarta, setidaknya sejak tahun 1755 cukup masuk akal.[2]
bahwa nama Malioboro diambil dari gelar John Churchill sebagai
Adipati Marlborough Pertama (Setidaknya ada tiga teori terkait asal usul nama
Jalan Malioboro. Teori pertama berpendapat 1650-1722), jenderal dari Inggris
yang paling terkenal pada masanya. Nama ini digunakan untuk benteng pertahanan
inggris di Bengkulu yang dinamakan Benteng Marlborough.
Namun, teori ini dibantah oleh sejarawan Peter Carey yang
mengemukakan bahwa tidak mungkin jalan yang digunakan sebagai jalan utama bagi
Kesultanan Yogyakarta berasal dari nama Inggris.[2]
Teori kedua dikemukakan tokoh asal Jogja yang berpendapat nama
Malioboro mungkin berasal dari nama penginapan (pesanggrahan) yang digunakan
Jayengrana (Amir Hamzah) tokoh utama Cerita Menak yang mengadopsi Hikayat Amir Hamzah.[2]
Teori ketiga berasal dari Peter Carey yang berpendapat nama
Malioboro berasal dari bahasa Jawa "maliabara" yang diadopsi
dari bahasa Sanskerta "malyabhara"
yang berarti "dihiasi karangan bunga".[2] Hal
ini berdasarkan teori nama "Ngayogyakarta"
berasal dari bahasa Sanskerta "Ayodhya" (bahasa Jawa: Ngayodya), ibu
kota kerajaan Rama di
epos Ramayana sehingga
wajar bila kesultanan menggunakan atau mengadopsi bahasa Sanskerta untuk nama
jalan atau nama tempat-tempat lainnya. Secara etimologi, hubungan antara nama
jalan "Maliabara" dengan kata dalam bahasa Sanskerta
"malyabhara" juga pernah disinggung oleh Profesor C.C. Berg pada
kuliah di Universitas Leiden pada 1950–1960-an dan Dr. O.W. Tichelaar dalam
sebuah karya ilmiah pada Kongres Orientalis Internasional
ke-28 di Canberra, Australia. Maka dari itu, penggunaan nama
"Maliabara" yang berasal dari bahasa Sanskerta untuk menamai jalan
yang dibangun Hamengkubuwana I, sultan pertama Kesultananan Yogyakarta, setidaknya sejak
tahun 1755 cukup masuk akal.[2]
Pemanfaatan[sunting | sunting sumber]
Era sebelum kemerdekaan[sunting | sunting
sumber]
Malioboro
pada tahun 1936
Jalan
Malioboro pada malam hari
Awalnya Jalan Malioboro ditata sebagai sumbu imaginer
Utara-Selatan Pantai Parangkusumo - Kraton Yogya - Gunung Merapi. Jalan Malioboro dimulai di
dekat area keraton menuju ke arah utara hingga Tugu Yogya. Jalan salah satu
elemen terpenting sebagai garis imajiner yang
menghubungkan keraton dengan Gunung Merapi yang dianggap sakral sesuai dengan
sumbu filosofi kota Yogyakarta.
Jalan Malioboro berfungsi sebagai jalan utama kerajaan (rajamarga)
untuk kegiatan seremonial kesultanan. Saat sultan keluar dari istana dalam dan
duduk di Sitinggil pada upacara publik, ia dapat melihat
langsung Jalan Malioboro hingga Tugu di kejauhan. Antara Jalan Malioboro dan
keraton terdapat dua pohon beringin yang diberi pagar persegi (waringin
kurung) di Alun-alun Utara. Beringin kembar ini menyimbolkan penyatuan dua
hal yang bertolakbelakang (loroning atunggal).[2][3] Adanya
tugu di sebelah utara dan beringin kembar di antara jalan utama ibu kota
kesultanan memiliki arti simbolis dan filosofis yang kuat yang diciptakan oleh
Hamengkubuwana I.[2]
Selain itu, jalan ini juga digunakan saat kunjungan resmi
pejabat kolonial Belanda dan Inggris, seperti gubernur jenderal, untuk memasuki
keraton Yogyakarta. Jalan ini punya dua fungsi penting: pertama, sebagai bentuk
penghormatan kepada pejabat yang berkunjung. Kedua, sebagai cara untuk
menetralisir kekuatan pejabat yang berkunjung dengan melewati tugu dan beringin
kurung, mengingat pejabat akan lewat dari arah utara jalan ini. Arah utara
dalam filosofi Jawa diasosiasikan dengan kegelapan, kematian, dan ilmu hitam.[2]
Pada abad ke-18 di jalan ini bermukim orang-orang dari berbagai
etnis, seperti Jawa, Tionghoa, dan Belanda.[4] Menurut
Sasmito, sejak 1765 orang-orang Belanda dan Tionghoa menghuni bagian utara kota
Yogyakarta, sementara orang Jawa menghuni sisanya. Hal ini terlihat dari bentuk
arsitektur pemukiman di dekat bagian selatan Malioboro yang mendapat pengaruh
dari arsitektur Tiongkok. Sementara
pemukiman di dekat bagian utara Malioboro mendapat pengaruh dari arsitektur
Jawa dan Belanda, sehingga di sekitar Jalan Malioboro dapat terlihat gabungan
gaya arsitektur Jawa-Tionghoa-Belanda.[4]
Malioboro mulai ramai pada era kolonial 1790 saat pemerintah
Belanda membangun Benteng Vredeburg pada tahun 1790 di ujung selatan jalan ini.
Selain membangun benteng, Belanda juga membangun Dutch Club tahun 1822,
Kediaman Gubernur Belanda tahun 1830, Bank Java dan Kantor Pos tak lama
setelahnya. Setelah itu, Malioboro berkembang kian pesat karena perdagangan
antara orang Belanda dengan pedagang Tionghoa. Pada 1887 Jalan Malioboro dibagi
menjadi dua dengan didirikannya tempat pemberhentian kereta api yang kini
bernama Stasiun Tugu.
Saat pandemi flu Spanyol pada Oktober-November 1918 dan wabah
penyakit pada 1932, Jalan Malioboro digunakan untuk arak-arakan keliling kota
membawa pusaka kerajaan, Kangjeng Kyai Tunggul Wulung dan Kangjeng Kyai Pare
Anom.[2]
Pengaruh Belanda semakin kuat sejak dibangun Benteng Vredeburg
hingga 1936 ketika orang Belanda mendominasi pemukiman di dekat benteng dan di
sisi selatan stasiun.[4] Pengaruh
Tionghoa juga meningkat ketika etnis Tionghoa mendominasi pemukiman di hampir
sepanjang jalan ini sekitar tahun 1936.[4]
Era kemerdekaaan-2000[sunting | sunting
sumber]
Jalan Malioboro juga memiliki peran penting dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Di sisi selatan Jalan Malioboro pernah terjadi
pertempuran sengit antara pejuang tanah air melawan pasukan kolonial Belanda
yang ingin menduduki Yogya. Pertempuran itu kemudian dikenal dengan peristiwa
Serangan Umum 1 Maret 1949, yakni keberhasilan pasukan merah putih menduduki
Yogya selama enam jam dan membuktikan kepada dunia bahwa angkatan perang
Indonesia tetap ada. Setelah kemerdekaan, jalan ini juga digunakan untuk pawai
tahunan pasukan garnisun Yogya saat peringkatan Hari Angkatan Bersenjata pada
5 Oktober.[2]
Jalan itu selama bertahun-tahun dua arah, namun pada tahun
1980-an menjadi satu arah saja, dari jalur kereta api (di mana ia memulai) ke
selatan - ke pasar Beringharjo, di mana ia berakhir. Hotel terbesar dan tertua
di Yogyakarta, Hotel Garuda, terletak di ujung utara jalan,
di sisi timur yang berdekatan dengan jalur kereta api. Di sini terdapat bekas
kompleks perdana menteri (kepatihan) di sisi timur.
Selama bertahun-tahun pada tahun 1980-an dan kemudian, sebuah
iklan rokok ditempatkan di bangunan pertama di sebelah selatan jalur kereta api
- atau secara efektif bangunan terakhir di Malioboro, yang mengiklankan
rokok Marlboro, tidak
diragukan lagi menarik bagi penduduk setempat dan orang asing yang akan melihat
kata-kata dengan nama jalan dengan produk asing sedang diiklankan. Jalan ini
menjadi pusat komersial yang dipenuhi toko-toko di sepanjang jalan.
2000-sekarang[sunting | sunting
sumber]
Jalan Malioboro punya arti penting sebagai salah satu pusat
perekonomian, hiburan, wisata, dan kuliner kota Yogyakarta. Penggunaan jalan
ini pada umumnya dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima (PKL), pertokoan,
penduduk lokal, dan wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta.[4]
Pada 2019, pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
membuat grand design untuk melakukan penataan Jalan Malioboro
sebagai kawasan semi pedestrian.[5] Pada
2021 pemerintah provinsi DIY telah membangun 37 sarana prasarana dengan total
biaya Rp 78 miliar untuk penataan kawasan agar meningkatkan minat wisatawan.
Selain itu, pemerintah juga merelokasi PKL di Jalan Malioboro ke Pusat UMKM di
depan Pasar Beringhargo dan bekas gedung Dinas Pariwisata DIY yang ditargetkan
dimulai Januari 2022.[6]
Referensi[sunting | sunting sumber]
Wikimedia
Commons memiliki media mengenai Jalan
Malioboro, Yogyakarta.
1. ^ "Nama
Jalan Diganti Nama Lama, Dan Akan Dipakai Untuk Nama Jalan Lain".
Archived from the original on 2017-11-07. Diakses tanggal 2019-10-19.
2.
^ Lompat ke:a b c d e f g h i Carey, P.
(1984). "Jalan
Maliabara ('Garland Bearing Street'): The Etymology and Historical Origins of a
much Misunderstood Yogyakarta Street Name". Archipel. 27 (1):
51–62. doi:10.3406/arch.1984.1879.
3. ^ "Pohon
Beringin di Keraton Yogyakarta". www.kratonjogja.id (dalam
bahasa Inggris).
Diakses tanggal 2022-02-27.
4.
^ Lompat ke:a b c d e Septirina,
Safiera Nur; Takeo, Ozawa; Satoru, Kaku (2016-07-14). "Conservation
of Historical Architecture in Malioboro Street, Yogyakarta City,
Indonesia". Procedia - Social and Behavioral Sciences.
Conservation of Architectural Heritage (CAH) (dalam bahasa Inggris). 225:
259–269. doi:10.1016/j.sbspro.2016.06.025. ISSN 1877-0428.
5. ^ Dishub,
Contributor. "Menuju
Penataan Kawasan Semi Pedestrian Malioboro". dishub.jogjaprov.go.id (dalam
bahasa Inggris).
Diakses tanggal 2022-02-27.
6. ^ Wicaksono,
Pribadi (04-01-2022). "Yogyakarta
Rampungkan Penataan Kawasan Pedestrian Jadi Magnet Wisata Baru". Tempo. Diakses tanggal 27-02-2022.
Daftar pustaka[sunting | sunting
sumber]
·
Suyenga, Joan A stroll down Yogyakarta's 'Main Street',
pp.165-167 of Oey, Eric (1994) Java 2nd edition Periplus
Editions ISBN
962-593-004-3
·
Turner, Peter (1997). Java (1st
edition). Melbourne: Lonely Planet. hlm. 215–216. ISBN 0-86442-314-4.
Pranala luar[sunting | sunting sumber]
Media terkait Jalan Malioboro,
Yogyakarta di Wikimedia Commons
·
(Indonesia) The dagadu shop (on
Malioboro) has its version of the history at its website. Diarsipkan 2007-04-10 di Wayback Machine.
·
(Indonesia) Panduan Pariwisata Yogyakarta dan sekitarnya[pranala nonaktif
permanen]
·
(Indonesia) Portal
Pariwisata Indonesia: Jalan Malioboro
·
(Indonesia) Hotel Dekat Malioboro Diarsipkan 2018-12-17 di Wayback Machine.
Komentar
Posting Komentar